Bekasi - Indonesia berada di peringkat 65 dalam Indeks Demokrasi Dunia 2018 (The economist, 2019), vote seringkali tidak menjadi voice, demokrasi tidak menjawab persoalan (indifference) terhadap ketimpangan di masyarakat. Hal-hal tersebut adalah sekelumit kejadian demokrasi yang terjadi di negeri ini. Untuk itu, diperlukan suatu alat ukur (indeks) guna melihat seberapa jauh demokrasi sudah berjalan di Indonesia.
Upaya ke arah sana telah digagas oleh Bappenas bersama Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) RI, Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri), dan tentu saja Badan Pusat Statistik (BPS) yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) sejak tahun 2007 dalam bentuk Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
Kesinambungan dalam menciptakan kualitas data IDI, salah satunya dijaga dalam bentuk pelatihan petugas pencacah penyusunan IDI. Hal itulah yang secara rutin dilakukan Direktorat Statistik Ketahanan Sosial (Hansos) BPS, yang pada tahun ini melaksanakan pelatihan bertajuk Pelatihan Enumerator dan Rekonsiliasi Administrasi Penyusunan IDI, tanggal 12-13 November 2019 di Hotel Harris & Convention, Bekasi, Jawa Barat.
Dalam sambutannya, pada acara pembukaan, Selasa (12/11), Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas, Wariki Sutikno, mengatakan bahwa penyusunan IDI ini merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan sudah menjadi Program Prioritas Nasional, serta akan terus dijaga agar berlangsung setiap tahun. Wariki pun mempercayakan semua penyusunan IDI kepada BPS. “Saya melihat kawan-kawan BPS itu selalu komitmen dengan objektivitas, makanya kami kalau dengan BPS, pokoknya saya percaya BPS, tidak mau ikut campur saya ini” ujar Wariki seraya meminta agar BPS tetap menjaga objektivitas tersebut
Senada dengan Wariki, Direktur Statistik Hansos BPS, Harmawanti Marhaeni, dalam sambutannya juga menegaskan bahwa IDI tidak hanya penting digunakan dalam RPJMN di bidang politik tapi juga salah satu target dari SDGs tujuan 16 (Kedamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh). “Jadi pada saat kita menghitung IDI, bukan hanya untuk kepentingan nasional tapi juga menjadi salah satu indikator untuk kepentingan global,” ujarnya.
Wanti, panggilan akrab Harmawanti Marhaeni, juga berharap kepada para enumerator, pada saat mengumpulkan data bukan hanya sekedar pengepul data, tapi harus bisa memaknai apa arti dari data yang dikumpulkan. “Teman-teman semua harus bisa menjelaskan dengan sangat clear bahwa kejadian ini masuk di indikator berapa. Untuk bisa tahu ke arah sana artinya kita harus sangat paham 28 indikator (IDI-red) yang ada. Ini sudah harga mati bagi teman-teman sebagai enumerator IDI,” tegasnya.
Hadir pula dalam acara pembukaaan tersebut, Asisten Deputi Koordinasi Demokrasi dan Organisasi Masyarakat Sipil Kemenkopolhukam, Budi Susanto, serta narasumber yang berkompeten dalam hal demokrasi, Wynandin Imawan (Mantan Deputi Bidang Statistik Sosial BPS), dan Abdul Malik Gismar (Akademisi dari Universitas Paramadina). Peserta pelatihan sendiri adalah para personil di Bidang Statistik Sosial dan Penanggung Jawab Uang Muka Kegiatan (PMUK) dari BPS Provinsi seluruh Indonesia dan BPS Pusat.
Harapan ke depan adalah agar IDI tetap digunakan sebagai alat pembangunan politik di Indonesia dan juga sebagai salah satu target pemerintah pada RPJMN.