Jakarta - “Menghasilkan IDI (Indeks Demokrasi Indonesia, red) ini adalah tugas unik bagi BPS. Biasanya angka yang disajikan BPS itu melalui mekanisme hasil survei dan sensus, tetapi untuk IDI ini kami harus me- review surat kabar, perda, pergub, dan lain-lain yang kemudian dipertajam lagi dengan FGD dan indepth study,” tutur Kecuk Suhariyanto, Kepala BPS dalam sambutannya pada acara "Launching Buku IDI dan Pemberian Penghargaan IDI", di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, (13/12).
Abdul Malik Gismar, Dewan Ahli IDI dalam paparannya menyambut baik meningkatnya indeks demokrasi di Indonesia yang sebesar 72,11 dibandingkan tahun lalu 70,09. Alasannya, para pakar demokrasi di dunia saja beranggapaan bahwa suasana demokrasi dunia saat ini sedang mengalami kemunduran. Lebih lanjut, Wiranto, Menko Bidang Polhukam menekankan bahwa demokrasi adalah sebuah tools, bukan tujuan akhir. “Demokrasi tanpa stabilitas tidaklah mungkin terwujud,” tegasnya.
Penyusunan IDI yang merupakan kerja sama antara BPS dengan Kemenko Polhukam, BAPPENAS, Kemendagri, dan Dewan Ahli IDI ini telah berlangsung sejak 2009. Kecuk mengakui bahwa angka IDI yang dirilis dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Hal ini dapat dipahami karena dinamika demokrasi yang ada di Indonesia. Lebih lanjut Kecuk juga menjelaskan bahwa pada tahun 2017 tidak ada provinsi dengan nilai IDI di bawah 60 atau berkategori buruk.
Dalam kesempatan tersebut, diberikan pula penghargaan kepada empat provinsi dengan angka IDI di atas 80 (berkategori baik), yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta (DIY), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Kepulauan Bangka Belitung. Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur DIY), dan Irianto Lambrie (Gubernur Kaltara) turut hadir dalam acara tersebut untuk menerima penghargaan IDI yang diserahkan langsung oleh Wiranto.
