Indonesia adalah negeri yang kaya “gemah ripah loh
jinawi”.Kekayaan itu tidak sebatas pada hasil alam saja, tetapi juga
pada ragam suku, bahasa, agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Misal
untuk kekayaan suku bangsa, Indonesia memiliki ratusan nama suku bahkan
ribuan jika dirinci hingga subsukunya. Kemajuan teknologi dan kemudahan
di bidang transportasi mendorong peningkatan mobilitas penduduk. Imbas
dari mobilitas penduduk diantaranya adalah mempercepat perubahan
komposisi suku di suatu wilayah. Perubahan komposisi suku ini kerap
menjadi potensial konflik sosial, ekonomi, maupun politik. Terkait hal
itu, mengkaji data etnis menjadiurgen. Terlebih sejak tahun 1998,
Indonesia mulai melaksanakan proses demokrasi dan desentralisasi.
Data
suku di Indonesia pertama kali dihasilkan melalui Sensus Penduduk (SP)
1930 oleh Pemerintah Belanda. Namun di era Orde Baru, pengumpulan data
ini terhenti disebabkan adanya `political taboo` yang memandang bahwa
membahas suku adalah upaya yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Baru
tujuh puluh tahun kemudian, di era Reformasi, data suku mulai
dikumpulkan kembali oleh BPS melalui SP2000 dan dilanjutkan pada SP2010.
Mengumpulkan
data suku tidaklah mudah. Bauman (2004) mengatakan sulit mendefinisikan
suku. Pada umumnya, seseorang mengidentifikasi dirinya pada suku
tertentu berdasar keturunan, kebiasaan hidup, bahasa, hubungan
kekerabatan, atau bahkan unsur politik. Atas dasar itu, dalam sensus
ataupun survei, pertanyaan dibuat terbuka dan menerapkan self
identification method, yaitusuku yang dicatat berdasar pengakuan
responden. Selanjutnya, untuk memudahkan analisis data suku dilakukan
koding pada setiap jawaban responden.
Dalam SP2010 tersedia 1331
kategori suku. Sejumlah 1331 kategori itu merupakan kode untuk nama
suku, nama lain/alias suatu suku, nama subsuku, bahkan nama sub dari
subsuku. Imbasnya, untuk menganalisis suku kerap diperlukan
pengelompokan/klasifikasi ulang. Misal, pada saat menganalisis Suku
Batak, perlu diidentifikasi terlebih dahulu kode apa saja yang merujuk
pada sub-sub suku, subsuku, dan nama lain dari Suku Batak. Dalam SP2010,
kode yang terkait dengan Suku Batak adalah Batak Alas Kluet (0015),
Batak Angkola/Angkola (0016), Batak Dairi/Dairi/Pakpak/Pakpak Dairi
(0017), Batak Pak-Pak (0020), Batak Karo (0018), Batak Mandailing
(0019), Batak Pesisir (0021), Batak Samosir (0022), Batak
Simalungun/Simelungun Timur (0023), dan Batak Toba (0024).
Selanjutnya
perlu diidentifikasi apakah perlu dilakukan pengelompokan atau tidak.
Detailnya, kode suku yang disediakan SP memberikan kebebasan bagi para
peneliti untuk melakukan pengelompokan sesuai dengan substansi
penelitiannya. Hal inilah yang menjadi nilai lebih dan kekayaan dari
data suku SP2010.
Kerja sama BPS dengan Institute of Southeast
Asian Studies (ISEAS) pada tahun 2013 menghasilkan klasifikasi baru yang
dapat digunakan untuk menganalisis data suku SP2010. Telah dilakukan
identifikasi mana saja kode yang merupakan nama lain, subsuku, dan
sub-sub suku. Dihasilkan 633 kelompok suku besar dari kode suku yang
tersedia dalam SP2010. Pengelompokan suku dilakukan berdasarliteratur
seperti buku ensiklopedi suku maupun dari pengetahuan para jejaring yang
tersebar di seluruh Nusantara.
Kerja sama BPS-ISEAS tidak hanya
menghasilkan pengelompokkan suku, namun dihasilkan pula analisis suku
yang tersaji dalam Buku “Demography of Indonesia’s Ethnicity”. Berdasar
data SP2010, ratusan suku yang ada di Indonesia memiliki jumlah penduduk
yang tidak sepadan. Suku Jawa adalah suku terbesar dengan proporsi
40,05 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Menempati posisi kedua
adalah Suku Sunda sebesar 15,50 persen. Selanjutnya suku-suku lainnya
memiliki proporsi di bawah lima persen penduduk Indonesia.
Dalam
studi lanjutan terhadap keanekaragaman data suku SP2010, yang mana
keanekaragaman diukur dengan Ethnic Fractionalize Index (EFI) dan Ethnic
Polarized Index (EPOI) diperoleh EFI sebesar 0,81 dan EPOI sebesar
0,50. Tergambar bahwa Indonesia sangat heterogen/majemuk, namun tidak
terpolar sehingga potensi dampak konflik cenderung rendah.