Nomor Katalog | : | 4102002 |
Nomor Publikasi | : | 07310.1902 |
ISSN/ISBN | : | |
Frekuensi Terbit | : | Tahunan |
Tanggal Rilis | : | 27 Agustus 2019 |
Tanggal Revisi | : | 11 September 2019 |
Bahasa | : | Indonesia |
Ukuran File | : | 7.15 MB |
Abstraksi
Pembangunan manusia sesungguhmya
memiliki makna yang luas. Ide dasar dari pembangunan manusia yaitu menciptakan
pertumbuhan positif dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan
lingkungan serta perubahan dalam kesejahteraan manusia. Oleh karena itu,
manusia harus diposisikan sebagai kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Dengan
berbekal konsep ini, tujuan utama dari pembangunan manusia harus mampu
menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmari umur
Panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif (Human Development
Report 1990)
Pendekatan pembangunan manusia
lebih memfokuskan kepada perluasan pilihan masyarakat dengan bebas dan
bermartabat. Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam
masyarakat: pertumbuhan ekonomi,
perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural
dari sudut pandang manusia. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting
lainnya, yaitu gender. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya
memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari
semua aspek kehidupan manusia.
Konsep pembangunan manusia diukur
dengan menggunakan pendekatan tiga dimensi dasar manusia, yaitu umur panjang
dan sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak. Dimensi umur panjang dan
sehat diwakili oleh indikator harapan hidup saat lahir. Dimensi pengetahuan
diwakili oleh indikator harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah.
Sementara itu, dimensi standar hidup layak diwakili oleh pengeluaran per kapita.
Ketiga dimensi ini terangkum dalam suatu indeks komposit yang membentuk IPM.
UNDP memperkenalkan IPM sejak
tahun 1990. Dalam perjalanannya, UNDP telah beberapa kali melakukan revisi
metode penghitungan IPM hingga tahun 2010 UNDP melakukan revisi yang cukup
besar dengan menyebutnya sebagai era baru pembangunan manusia. Dalam metode
baru ini dikenalkan indikator harapan lama sekolah yang menggantikan indikator
melek huruf dan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita yang menggantikan
Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita.
Indonesia mulai menghitung IPM
secara berkala setiap tiga tahun sejak 1996. Untuk memenuhi kebutuhan
Kementerian Keuangan dalam menghitung Dana Alokasi Umum (DAU), mulai tahun
2004, IPM dihitung setiap tahun. Sejak tahun 2014, indikator yang digunakan
dalam penghitungan IPM di Indonesia sudah mengacu pada metode baru yang
diterapkan oleh UNDP dengan beberapa penyesuaian. Indikator pengeluaran per
kapita digunakan sebagai proksi pendapatan yang menggantikan Pendapatan
Nasional Bruto (PNB) per kapita yang belum tersedia secara tahunan hingga
tingkat kabupaten/kota. Angka backcasting dengan menggunakan metode baru
tersedia mulai tahun 2010.
Sejak tahun 2015, semua
pembangunan pada tataran global mengacu pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)
atau lebih dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep
SDGs ini berkaitan dengan perubahan situasi dunia sejak tahun 2000 tentang
isu depletion sumber daya alam,
kerusakan lingkungan, perubahan iklim yang semakin krusial, perlindungan
sosial, ketahanan pangan dan energi, dan pembangunan yang lebih berpihak pada
kaum miskin. SDGs dibentuk oleh tiga pilar dengan 17 tujuan (goal) yang harus
dicapai.
Di antara 17 tujuan SDGs,
terdapat beberapa target yang berhubungan dengan pembangunan manusia, yaitu
tujuan ketiga, tujuan keempat, dan tujuan kedelapan. Tujuan ketiga adalah
menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan penduduk di segala
usia. Tujuan keempat adalah menjamin kualitas pendidikan yang adil dan inklusif
serta meningkatkan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua. Sedangkan
tujuan kedelapan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkelanjutan, kesempatan kerja penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak
untuk semua. Hal ini menunjukkan pembangunan manusia selalu menjadi isu penting
dalam perancangan dan strategi pembangunan berkelanjutan.
Pada tingkat nasional, agenda
pembangunan pemerintah Nawacita juga mengangkat pembangunan manusia sebagai isu
penting yang harus menjadi prioritas. Butir kelima Nawacita menegaskan bahwa
pemerintah akan memprioritaskan peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.
Hal itu dilakukan dengan melakukan dua program, yaitu peningkatan kualitas
pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”; dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia
Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah
seluas 9 hektar, program rumah Kampung Deret atau rumah susun murah yang
disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
Pada tahun 2018, IPM Indonesia
mencapai 71,39, meningkat sebesar 0,58 dari tahun sebelumnya. Tahun 2018
merupakan tahun ketiga Indonesia berstatus pembangunan manusia “tinggi” dengan
Umur Harapan Hidup saat lahir mencapai 71,20 tahun. Ini berarti bahwa bayi yang
baru lahir dapat bertahan hidup hingga usia 71,20 tahun. Secara rata-rata,
penduduk Indonesia usia 25 tahun ke atas sudah menempuh 8,17 tahun masa sekolah
atau telah menyelesaikan pendidikan setara kelas VIII. Selain itu, rata-rata
penduduk usia 7 tahun yang mulai bersekolah, diharapkan dapat mengenyam
pendidikan hingga 12,91 tahun atau setara dengan Diploma I. Tidak kalah
penting, standar hidup layak Indonesia yang diwakili oleh indikator pengeluaran
per kapita yang disesuaikan sudah mencapai Rp11.059.000,00 per kapita per
tahun.
IPM tertinggi dicapai oleh
Provinsi DKI Jakarta dengan IPM sebesar 80,47, sedangkan capaian terendah
diduduki Provinsi Papua dengan IPM sebesar 60,06 dan sekaligus berubah
statusnya dari rendah menjadi sedang. Provinsi DKI Jakarta untuk pertama
kalinya dan satu-satunya tercatat sebagai provinsi yang telah memasuki status
pembangunan manusia “sangat tinggi”. Sementara itu, tujuh provinsi tercatat
mulai memasuki status pembangunan manusia “tinggi” yaitu Provinsi Jambi, Bengkulu,
kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Utara, dan Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, terdapat dua puluh satu provinsi
yang telah menyandang status pembangunan manusia “tinggi”. Sementara itu, dua
belas provinsi di Indonesia berstatus “sedang”. Provinsi yang berada pada level
“rendah” sudah tidak ada lagi dengan berubahnya status Provinsi Papua dari
“rendah” ke “sedang”.
Pada tingkat kabupaten/kota,
capaian tertinggi berada di Kota Yogyakarta dengan IPM sebesar 86,11 sementara
capaian terendah berada di Kabupaten Nduga dengan IPM hanya sebesar 29,42. Sama
halnya dengan status pembangunan manusia di tingkat provinsi, terdapat
kabupaten/kota yang sudah berada pada kategori pembangunan manusia “sangat
tinggi” pada tahun 2018. Tercatat sebanyak 29 kabupaten/kota telah mencapai
status “sangat tinggi”. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumya yang hanya 23
kabupaten/kota saja. Sebagian besar dari kabupaten/kota yang berstatus “sangat
tinggi” pada umumnya berada di Pulau Jawa. Selain kabupaten/kota dengan status
pembangunan manusia berkategori “sangat tinggi”, terdapat 31,71 persen
kabupaten/kota yang sudah mencapai kategori “tinggi” dan 57,59 persen
kabupaten/kota sudah berada pada status “sedang”. Namun, masih ditemukan 5,06
persen kabupaten/kota yang bertahan pada kategori “rendah”.
Selama kurun waktu 2010 hingga
2018, pembangunan manusia di Indonesia menunjukkan perkembangan yang terus
meningkat. Kapabilitas dasar juga berhasil ditingkatkan tetapi dengan beberapa
tantangan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi yang masih
harus dihadapi di masa mendatang. Di bidang pendidikan, partisipasi pendidikan
cukup tinggi dengan tren yang sejalan dengan Target RPJMN 2015-2019. Minat
siswa untuk melanjutkan ke SMP atau SMA masih cukup tinggi. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa putus sekolah masih terjadi meskipun cenderung turun.
Di bidang kesehatan, gizi ibu dan
anak terpantau cukup baik dan fasilitas kesehatan terus meningkat. Namun demikian,
kondisi lingkungan masyarakat belum sepenuhnya sehat dan kesadaran terhadap
perilaku sehat masih kurang. Di bidang ekonomi, kondisi perekonomian yang masih
kondusif ternyata belum mampu menekan angka kemiskinan secara masif. Meskipun
persentase kemiskinan cenderung turun, penurunannya cenderung lambat dan
stagnan. Selain itu, kondisi pengangguran juga menunjukkan penurunan yang
cenderung lambat.
Persoalan ketimpangan capaian
pembangunan manusia tampaknya masih menjadi isu penting dalam perancangan dan strategi
pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Ketimpangan pembangunan manusia masih
ditemukan baik antarindividu, antargender, antardimensi, maupun antarwilayah.
Ketimpangan antarindividu
tercermin dari masih tingginya gini rasio. BPS mencatat gini rasio pengeluaran
Indonesia sebesar 0,384 pada September 2018 yang merupakan terendah selama
periode 2011-2018. Sedangkan Gini rasio lama sekolah penduduk usia 25 tahun ke
atas sebesar 0,319 pada tahun 2018 sedikit meningkat dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar 0,312. Kedua Indikator ini menunjukkan bahwa ketimpangan
antarindividu masih menjadi persoalan.
Ketimpangan gender juga turut
menyumbang ketimpangan pembangunan manusia di Indonesia. Capaian pembangunan
manusia untuk laki-laki masih di atas perempuan. Pada tahun 2018, BPS mencatat
IPM laki-laki di Indonesia telah mencapai 75,43 atau telah berstatus “tinggi”.
Sementara itu, IPM perempuan hanya mencapai 68,63 atau masih berstatus
“sedang”. Ketimpangan ini tergambar dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia
yang baru mencapai 90,99 pada tahun 2018.
Ketimpangan antarwilayah juga
turut mewarnai dinamika pembangunan manusia di Indonesia. Luasnya wilayah
Indonesia dan tidak meratanya pembangunan menyebabkan ketimpangan terjadi, baik
antara perkotaan dengan perdesaan, antarprovinsi, antarkabupaten, antara kota
dengan kabupaten, maupun antara wilayah barat dengan timur. Pembangunan manusia
di perkotaan cenderung lebih maju dibandingkan dengan di perdesaan. Di wilayah
barat, pembangunan manusia juga cenderung lebih maju dibanding wilayah timur.
Sampai dengan tahun 2018, Provinsi Papua masih menyimpan ketimpangan
pembangunan manusia antarkabupaten/kota yang paling tinggi di Indonesia.