Bali - “Nilai Tukar Petani (NTP, red) saat ini menjadi salah satu indikator strategis sehingga dalam menghasilkan angka ini kita harus sangat berhati-hati. Ini terkait dengan hajat hidup petani Indonesia,” tutur Yunita Rusanti, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa ketika membuka Workshop Pembahasan Komoditas Diagram Timbang di Hotel Aston Bali, (2/10). Kegiatan berlangsung hingga 6 Oktober 2018.
NTP yang dihasilkan oleh BPS menjadi pusat perhatian banyak pihak, bahkan pernah diusulkan masuk ke dalam asumsi makro seperti halnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, sebagai instansi yang mengeluarkan angka tersebut, BPS harus mampu menjelaskan dengan baik fenomena di balik angka NTP berikut produk turunannya, seperti inflasi pedesaan.
Lebih lanjut, Adi Nugroho, Kepala BPS Provinsi Bali juga menekankan bahwa BPS harus mampu memberikan penjelasan tentang keadaan yang dianggap anomali oleh masyarakat awam, seperti rendahnya NTP justru ketika musim panen raya dan meningkat saat musim paceklik. Hal semacam ini terjadi karena pada musim panen raya, produksi pertanian berlimpah dan tidak ada harganya. Bahkan sering kali petani tidak mampu membayar upah buruh panen karena tidak sesuai dengan nilai penjualannya.
Pada hari keempat, seluruh peserta yang terdiri dari Kepala Seksi Statistik Keuangan dan Harga Produsen BPS Provinsi seluruh Indonesia melakukan praktik survei lapangan dengan mengunjungi pasar dan beberapa petani di Kabupaten Tabanan. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok untuk pemantapan Survei Harga Konsumen dan Survei Harga Produsen Pedesaan. Kegiatan ini tentunya sebagai salah satu upaya BPS untuk terus mengawal kualitas data yang dihasilkan.